Jangkauan Makin Luas Dengan 2 Satelit Baru

Jangkauan Makin Luas Dengan 2 Satelit Baru – Sesudah pembangunan tiga proyek Sistem Komunikasi Kabel Laut Palapa Ring rampung, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi merencanakan pengembangan kapasitas internet di daerah tertinggal, terdepan dan terluar Indonesia dengan menambah dua satelit.

Pada saat ini, satelit Multifungsi Satria— yang berkapasitas 150 Gbps—masih dalam tahapan pembuatan. Setelah mengorbit, satelit tersebut bakal menyuntikkan jaringan internet ke 149.000 titik di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) Indonesia. Penggunaan satelit untuk menjangkau titik-titik tersebut mempertimbangkan aspek efisiensi biaya dan cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan penggunaan serat optik. https://www.queenaantwerp.com/

Jangkauan Makin Luas Dengan 2 Satelit Baru

Bagaimanapun, Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Anang Latif menjelaskan satelit Satria hanya memiliki kapasitas 150 Gbps untuk menyalurkan internet di 150.000 titik. Artinya, setiap titik kemungkinan hanya mendapatkan 1 Mbps. https://www.queenaantwerp.com/

Jumlah itu dinilai kurang mumpuni untuk mendukung kegiatan di ribuan sarana pendidikan, kesehatan, pemerintahan, dan keamanan di daerah 3T. 

Menurut perhitungan Anang, untuk memberi pengalaman internet yang lebih baik, kapasitas yang dibutuhkan mencapai 1.000 Gbps atau 1 Tbps untuk sekitar 150.000 titik. Dengan demikian, salah satu opsi untuk menjembatani masalah kekurangan kapasitas tersebut adalah meluncurkan dua satelit lagi.

“Jadi nanti kapasitas satelit kedua [setelah satelit Satria] sebesar 300 Gbps, dan satelit ketiga 500 Gbps. [Ini rencana] 5 tahun ke depan,” kata Anang kepada Bisnis.com, belum lama ini.

Dia mengaku hingga saat ini Bakti belum tertarik menggunakan  wahana terrestrial langit atau High Altitude Platrform Station (HAPS) dan balon udara Goolge atau Google Loon untuk menyalurkan internet di daerah 3T. Bakti juga belum mempertimbangkan pemanfaatan satelit yang melaju di lingkaran orbit bumi rendah atau Low Earth Orbit (LEO) Satellite.

Anang menyebut Bakti lebih memilih penggunaan teknologi terbaru yang telah teruji. Dalam hal ini, satelit masih menjadi andalan. “Kami selalu kaji [teknologi] terbaru, kalau HAPS sudah matang dan layak, pasti kami pakai. Untuk saat ini, teknologi yang termatang adalah satelit multifungsi.”

Sekadar catatan, implementasi HAPS di Indonesia saat ini masih terbentur kekosongan frekuensi dan regulasi. Di samping itu, HAPS yang terbang di wilayah atmosfer bumi dengan ketinggan 20—25 km hanya memiliki cakupan jaringan seluas 240 km,  lebih kecil dibandingkan dengan cakupan satelit yang mencapai skala nasional.

Pada perkembangan lain, Ketua Program Studi Magister Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Yosef M. Edward mengatakan dengan kapasitas yang lebih besar dibandingkan dengan satelit Satria, maka satelit akan mengorbit lebih tinggi.

Dengan posisi orbit yabg lebih tinggi, lanjutnya, tantangan saat teknologi tersebut dijalankan adalah curah hujan di Indonesia. Sebab, makin tinggi sebuah satelit, sinyal yang ditembakkan akan makin peka terhadap cuaca. Meski demikian, dia meyakini kapasitas internet melalui satelit tersebut akan memberikan pengalaman berinternet yang lebih baik bagi masyarakat di daerah 3T.

“Penggunaan satelit dengan bandwidth 1 Mbps dibandingkan dengan satelit dengan bandwidth 2 Mbps,  utilisasinya lebih baik yang 2 Mbps.  Hal ini menandakan utilisasi berhubungan erat dengan kenyamanan penggunaan layanan internet.”

DAMPAK KE INDUSTRI

Sementara itu, Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) Hendra Gunawan mengatakan wacana penambahan satelit akan berdampak pada kemajuan industri satelit nasional, asalkan Bakti menunjuk perusahaan satelit nasional untuk menjalankan proyek tersebut.

Pada pengadaan satelit Multifungsi Satria, Bakti menunjuk PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) untuk menjalankan program tersebut. PSN diharuskan mencari pendanaan hingga mengawasi jalannya pembuatan satelit, dengan nilai proyek sekitar Rp20,6 triliun. “Harapannya Bakti memprioritaskan industri satelit nasional [untuk 2 satelit baru]” kata Hendra.

Pada kesempatan lain, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memperkirakan kedua satelit baru mulai dikerjakan setelah satelit Multifungsi Satria meluncur pada 2022.

Jangkauan Makin Luas Dengan 2 Satelit Baru

Berdasarkan catatannya, saat ini jumlah sekolah yang belum mendapat akses internet mencapai 214.000 titik, sedangkan satelit Satria hanya mampu memberi akses kepada 90.000 sekolah. Angka tersebut di luar dari jumlah sarana kesehatan, pemerintahan dan pos keamanan yang belum terjamah akses internet.

“Total kewajiban pemerintah dalam Palapa Ring sekitar Rp22 triliun, kurang lebih sama dengan satelit nanti 2022. Kita masih perlu dua satelit lagi, jadi pemerintah masih bangun 4.000 base transceiver station (BTS) lagi sampai 2020, “ kata Rudiantara.

Rudiantara juga berpendapat bahwa anggaran belanja untuk teknologi telekomunikasi dan informasi (information and communication technology/ICT) Indonesia harus ditambah. Dibandingkan dengan anggaran belanja ICT di sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, anggaran belanja ICT di Indonesia perlu ditambah hingga Rp100 triliun untuk beberapa tahun ke depan.

Berdasarkan pada perhitungannya, belanja ICT di Indonesia saat ini hanya sebesar 0,13% dari total produk domestik bruto (PDB), padahal di Thailand jumlahnya mencapai 0,30% dan di Malaysia 0,60% dari PDB.

“Idealnya paling tidak [anggaran belanja ICT Indonesia] dekat dengan Thailand,” kata Rudiantara.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi berpendapat Bakti perlu menghitung ulang jumlah titik yang akan disalurkan internet, selain merencanakana penambahan satelit baru.

Dia menegaskan bahwa Bakti harus menentukan prioritas cakupan kawasan yang menjadi kewajiban Bakti dan kawasan  yang merupakan kewajiban Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Sebab, apabila koneksi ke sekolah, kan sudah ada anggaran APBN 20%. Jangan sampai nanti nafsu besar, anggaran kurang. Jadinya tidak optimal serta di luar tugas dan fungsinya.”

Pendapatnya, tanpa perhitungan yang presisi, akan terjadi tumpang tindih pekerjaan dan anggaran antarlembaga. Dia mengingatkan bahwa tujuan Bakti adalah menghadirkan akses infrastruktur telekomunikasi dan digital. Bukan sektor lainnya seperti pendidikan.

“Kalau semua ke Bakti, ya anggarannya tidak akan cukup. Apalagi, terus main satelit yang harganya triliunan [rupiah],” kata Heru.

Palapa Ring adalah proyek pembangunan “back bone” atau tulang punggung serat optik nasional, yang akan

menjangkau sebanyak 34 provinsi, 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia dengan total panjang kabel laut

mencapai 35.280 kilometer, dan kabel di daratan adalah sejauh 21.807 kilometer.

Tiga ruas back bone, yakni Palapa Ring Barat, Palapa Ring Tengah dan Palapa Ring Timur. Proyek itu terdiri dari

tujuh lingkar kecil serat optik di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi dan

Maluku. Palapa Ring Barat telah selesai pada Maret 2018, menjangkau wilayah Riau, Kepulauan Riau hingga Pulau

Natuna dengan jaringan laut sepanjang 1.730 kilometer dan darat 545 kilometer.

Palapa Ring Tengah menjangkau 27 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Tenggara,Maluku Utara, dan Kalimantan Timur dengan 1.706 kilometer jaringan laut dan 1.289 jaringan darat.

Palapa Ring-Timur dibangun sejauh 4.450 kilometer yang terdiri dari sub marine cable sejauh 3.850 km dan “land

cable” sepanjang 600 KM dengan “landing point” sejumlah lima belas titik pada 21 kota/kabupaten.

Pembangunan infrastruktur tersebut pun ditujukan untuk memacu penetrasi para operator di wilayah 3T (Terdepan,

Terluar, dan Tertinggal).

Palapa Ring dapat mengurangi beban investasi membangun infrastruktur jaringan dari nol

secara signikan sehingga jaringan internet dapat menjangkau ke kecamatan dan kelurahan, kemudian ke

rumah-rumah penduduk dan fasilitas-fasilitas umum, seperti sekolah dan rumah sakit.

Kehadiran beragam operator atau penyedia jaringan internet yang dirangsang Palapa Ring dapat membuat harga

semakin cocok di kantong masyarakat. Tak hanya itu, layanan setiap penyedia jaringan juga bisa semakin

meningkat akibat adanya kompetisi ini.

Back to top